“Perempuan
dan Binatang Tidak Memiliki Jiwa, Perempuan Tercipta Dari Tulang Rusuk Adam
Untuk Menemaninya-Doktrin Agama”
Tulisan ini akan ku awali dengan doktrin
agama mengenai posisi perempuan ditengah masyarakat, sebuah doktrin agama yang
sering ku dengar ”perempuan dan binatang tidak memiliki jiwa, perempuan
tercipta dari tulang rusuk Adam untuk menemaninya”, banyak kitab suci yang menempatkan
perempuan pada posisi sekunder. Sehingga agama memberikan posisi dominan
terhadap laki-laki, laki-laki dapat melakukan segala bentuk kekerasan dan
penerusan budaya patriarkhal sebagai bentuk pelegalan ego kelaki-lakian,
celakanya budaya patriarkhal itu pula terus diwariskan oleh perempuan
kegenerasi berikutnya dengan doktrin agama, yang pada akhirnya menjadikan perempuan
pada posisi jenis kelamin kedua (The second sex).
Pewarisan pemahaman yang salah
tentang asumsi agama terhadap perempuan sebenarnya harus dipandang dari
sosiologis dan sosial budaya (sosiokultural) yang terbentuk dimasyarakat, dan
kesalahan ini sebenarnya pada tataran pemahaman masyarakat itu sendiri. Kita
sering terjebak dengan penafsiran teks-teks suci kepada kepentingan segelintir
kelompok. Dan patalnya hasil penafsiran yang salah itu diterima begitu saja
sebagai sebuah dasar pembuatan hukum, sehingga pada akhirnya posisi perempuan
terhakimi dengan penterjemahan teks Qur’an yang pada awalnya bertujuan
memuliakan perempuan menjadi perempuan ditempatkan pada posisi yang sama sekali
tidak diuntungkan, hal ini terjadi karena pemahaman atau penafsiran teks atau
ayat Qur’an yang salah. Lebih sederhananya maksud, makna dan tujuan ayat diturunkan
dengan penafsiran dari ayat tersebut terjadi pergeseran, dari tujuan yang
sebenarnya ingin disampaikan dari ayat tersebut. Semua dilakukan untuk
kepentingan sebahagian kelompok atau pelegalan ego laki-laki.
Khusus bicara islam dan kitab
sucinya Al-qur’an pada aktifitas sehari-hari banyak teks Qur’ani yang dipenggal
lalu ditafsirkan berdasarkan kepentingan kelompok dan doktrin kelaki-lakian,
hal ini dilakukan untuk menyerang dan melumpuhkan perempuan dalam aktifitas pendidikan,
politik, rumah tangga dan eksistensi perempuan di dunia publik. Sehingga
terbentuk asumsi semakin tinggi tingkat intelektual perempuan maka semakin
rendah moralitas perempuan tersebut, dianggap binal dan tidak taat pada suami,
dan hal lain terkait dengan hal tersebut, jelas ini merupakan bentuk kekerasan
terhadap perempuan secara sosiologis, akibat doktrin dan penafsiran dari agama
yang salah.
Bicara Islam tidak akan kita lepaskan dari kehadiran
Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas
memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak
dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia,
dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.
Diantara 114 surat yang terkandung
didalam al-Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara
khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang
mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan,
keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa, dan
tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh
lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi dan
penindasan atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan
status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi
perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan
masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Banyak teks qur’ani yang dipenggal
oleh sebahagian mufasir (penafsir terjemahan qur’an) dan intelektual muslim
sebagai alat pelemahan otoritas perempuan dan pemakjulan terhadap perempuan,
seperti surah An-nisa(4:34).
Yang memiliki arti
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.1
Surah ini sering sekali diplintir
dan dipenggal untuk mengahalangi
perempuan masuk kedalam dunia politik (Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
perempuan) atau ayat ini dipotong dan ditafsirkan secara bebas untuk pelegalan
terhadap pemukulan perempuan dalam rumah tangga (Pisahkanlah mereka dan
pukullah), tanpa melihat sebab-sebab penurunan ayat ini atau yang dikenal
asbabunuzul dari ayat tersebut. Saya fikir ini bukan salah Agama atau kitab
sucinya, tetapi manusia yang menterjemahkan sesuai kebutuhan mereka, sehingga
ayat Qur’ani dijadikan komoditi kepentingan laki-laki atau pelegalan budaya
patriarkhal semata.
Al-qur’an berulang-ulang menjelaskan
hak-hak perempuan dan kemuliannya, Al-qur’an juga memberikan jaminan bahwa
posisi perempuan dan laki-laki sama dimata Allah, seperti yang difirman Allah dalam
surat-At-taubah : 71,”dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” Sehingga hanya keimananlah yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan, tidak ada satu ayatpun yang mendiskriditkan perempuan pada dasarnya
di dalam ayat-ayat al-qur’an, namun para penafsir dan yang katanya
intelektuallah yang menyalah artikan dari ayat-ayat tersebut sehingga
memberikan batasan-batasan bagi perempuan.
Yang menjadi permasalahan sangat
mendasar saat ini adalah lelaki merasa memiliki hak istimewa, yakni para lelaki
merasa memiliki hak tertentu atas perempuan semata-mata karena mereka
laki-laki. Dan hal tersebut terus diamini oleh perempuan yang masih memiliki
pola pandang patriarkhal. Lelaki memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki hak
untuk keluar dimalam hari sementra tidak dengan perempuan, laki-laki berhak
atas pekerjaan formal sementara perempuan hanya boleh merawat anak-anaknya dirumah
dan tidak boleh menerima tamu atau bahkan keluar rumah tanpa seizin lelaki atau
suaminya, walaupun untuk kepentingan keluarga yang sangat mendesak, perempuan
seolah diposisikan pada situasi yang tidak memiliki pilihan dan bicara sexs
perempuan juga tak boleh meminta duluan atau memilih untuk tidak melakukan
hubungan intim, dan pada akhirnya posisi hidup perempuan seperti tidak memiliki
pilihan, jelas semua kasus ini hanya karena keegoaan laki-laki dan masih
rendahnya pengetahuan perempuan atas hal tersebut.
Penutup
Maka Cara berfikir (frame)
menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan/di khususkan pada tatanan
Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut.
Apakah Al-qu’an dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan
mengedepankan fenomena yang terjadi, atau dengan Al-qur’an sebagai jalan hidup (way
of live) atau hanya sekedar pemahaman akan makna Qur’ani dengan kualitas
implementasi risalah yang belum sempurna.
Dan selanjutnya, terhadap aturan dan
status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan akses-akses
yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam
mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan
meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu
nominal. Tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan
melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena tidak mungkin (nonsens)
bila keagungan aturan tidak dibarengi dengan perbuatan “implementasi” yang riil
dari para penganutnya.
Bila yang terjadi adalah kesalahan
dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara
subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan
keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang
merugikan kaum perempuan. Persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan
kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya
biologis dan rerpoduktiflah yang
membedakan keduanya akan jauh dari konteks yang sesungguhnya. Walaupun saat ini
mulai ada titik cerah bagi perjalanan perempuan khususnya indonesia untuk
menapaki makna kesetaraan dan kesejajaran baik di dunia publik maupun domestik.
Semoga Allah memberi petunjuk dan hidayahnya bagi orang-orang yang munkar dan
djolim.
1 Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri.
nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Maksud
dari jika kamu khawatirkan nuzusnya adalah untuk memberi pelajaran kepada
isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat,
bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila
tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang
tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah
dijalankan cara yang lain dan seterusnya.