Rabu, 16 Maret 2011

kaidah asasiyah y 6

BAB I
PENDAHULUAN

I.              Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua, apalagi jika kita ingin memahami kedudukan hukum dan cara penetapan terhadap sebuah hukum yang akan di tetapkan pada sebuah permasalahan, terkadang sering sekali dalam penetapan hukum,  seorang ulama tak paham benar dengan dasar penetapannya. Dan hampir jarang sekali kita temui pembahsan kaidah-kaidah Ghairu Asassiah yang tidak di pertentangkan(40 kaidah ).
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II.    Rumusan Masalah
  1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
  2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
  3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh yang 40?
  4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh? 

III. Tujuan Pembahasan
           Makalah ini disusun utuk memenuhi tugas mata kuliah dasar hukum islam pada pasca sarjana IAIN SU, dan sebagai bahan bacaan utuk mengetahui kaidah-kaidah fiqiyah yang Ghairu Asassiah (kaidah fiqih)








BAB II
PEMBAHASAN

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.[1]
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.[2]
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
(Q.S. At-Taubat : 122)
ur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ
Artinya :
122.  Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :[3]
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab. Pokok bahasan dalam makalah saya ini adalah 40 kaidah dalam Al-Asyba’wan Nadhor dan memfokuskan pada kaidah pertama, kaidah kedua, kaidah ketiga,Kaidah ke empat dan kaida ke lima dan ke enam.
KAIDAH YANG PERTAMA
الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد
“Ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihad” (As-Suyuthi:71)
Makna dari ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihat ialah  ijtihad yang telah di sepakati sebelumnya tidak dapat di ganggu gugat atas ijtihat yang baru. Karena kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, dan karenanya masing-masing ijtihad tidak ada yang istimewa. Dan masing-masing ijtihad tidak bisa saling membatalkan.
Penerapan dari kaedah ini apabila seorang mujtahid  mengijtihadkan suatu masalah, dan kemudian setelah hasil ijtihadnya di jadikan dasar hukum, tiba-tiba dia mengijtihadkannya kembali. Sesuai kaidah di atas maka hasil ijtihad yang ke dua/ulangan tak dapat membatalkan hasil ijtihadnya yang pertama. Alasannya adalah karena hasil ijtihad yang kedua tidak berarti lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum. Contohnya seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan ta’zir dengan hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seuur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari sihakim yang berbeda dengan pertimbangan pada pelaku yang pertama. Jadi bukan keadilannya yang berbeda, tetapi pertimbangan keadaan dan hukumannya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi.4
Sudah tentu kaidah ini kekecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas hasil ijtihadnya itu salah, karena menyalahi sumbe rhukum, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Maksud kaidah tersebut adalah ijtihad yang telah disepakati sebelumnya tidak dapat diganggu gugat atas ijtihad yang baru, karena kedudukannya masing-masing hasil ijtihad sama, karena itu masing-masing ijtihad tidak ada yang lebih istimewa, sehingga masing-masing tidak bisa membatalkan. Walaupun demikian bisa juga hasil ijtihad dibatalkan oleh yang lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1.            Ijtihad yang kedua lebih kuat daripada ijtihad pertama. Misalnya qoul jadid Imam Syafi’I dapat mengubah qoul qodimnya.
2.            ijtihad terdahulu tidak relevan dengan kondisi atau keadaan yang dihadapi dewasa ini, sehingga hasil ijtihaaad tersebut perlu direvisi. Kaidah fiqiyah dinyatakan:
تغيرالاحكام بتغيرالازمنة والامكنة والاحوال
Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat dan keadaan
Kerusakan keputusan ijtihad dapat diterima jika ternyata keputusan itu bertentangan dengan nash atau ijmak atau qiyas jaly. Menurut al-Iroqy pengguguran itu manakala bertentangan dengan kaidah-kaidah kulli, sedang menurut ulama hanafi menggantungkan dengan tidak berdasarkan dalil.
Contoh kaidah diatas, bila seseorang menginginkan shalat tetapi tidak menemukan air, maka ia berijtihad untuk bertayamum, seusai shalat ia menemukan air, maka ia tidak diwajibkan mengulang shalatnyya.
Kaidah kedua
اذااجتمع الحلال والجرم غلب الحرام
“Ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihad” (As-Suyuthi:71)

Pada kaidah itu disebutkan adanya prioritas bagi mendahulukan yang haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. (as-Suyuthi, TT: 75
Misalnya ketetapan khalifah Ustman bin Affan katika ditanya kentuan mengawini dua saudara, yang satu bestatus merdeka sedang yang lain berstatus budak sahaya. Menurut Q.S an-Nisa ayat 22 tidak boleh menumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam Q.S an-Nisa ayat 23 memperolehkan bersenang-senang bersama istri yang hadi selain antara pusat dan lutut, sedangkan hadits riwayat Muslimin dari Anas hanya membatasi pada”bersetubuh”, menurut kaidah diatas lebih dimenangkan hadits pertama, agar dapat berhati-hati. Namun apabila mengikuti metode tarjih maka hadits kedua dimenangkan karena diriwayatkan perawi yang lebih rajih dari perawi hadits pertama.5
Termasuk pada kategori kaidah diatas adalah:
اذااجتمع فى العبادة جانب الحضروجانب السفر غلب جانب السفر
Apabila aspek dirumah dengan aspek berpergian berkumpul dalam suatu ibadah, maka dimenangkan yang aspek berpergian (as-Suyuthi, TT: 79)
Misalnya seseorang yang telah berpuasa dirumah, kemudian ditengah-tengah siang ia berpergian, maka diharamkan berbuka puasa. Demikian juga mengkada shalat berpergian dilaksanakan di rumah atau sebaliknya maka tidak boleh diqoshor.
Demikian juga kaidah berikut ini:
اذتعارضالمانع والمقتضى قد م المانع
Apabila antara yang mencegah dan yang mengharuskan berlawanan, maka didahulukan yang mencega. (as-Suyuthi, TT: 80)
Misalnya ada seseorang mati sahid dalam keadaan junub, orang junub diserukan untuk sedang orang mati sahid dilarang dimandikan, maka menurut kaidah diatas orang tersebut tidak perlu dimandikan, bahkan diharamkan jika air untuk memandikan terlalu sedikit, atau kondisi dalam keadaan darurat.
Kaidah ketiga
الايثاربالقرب مكروه وفى غير ها محبوب
Mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi (as-Suyuthi, TT: 80)
  1. Sumber pengambilan qaidah
Para ahli Ushul membuat qaidah ini bersumber dari firmanTuhan:
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u#¤$!$# z`»yJƒM}$#ur `ÏB ö/ÅÏ=ö7s% tbq7Ïtä ô`tB ty_$yd öNÍköŽs9Î) Ÿwur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& šcrãÏO÷sãƒur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ
…..dan mereka mengutamakan (orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun dalam kesusahan…..(al-Hasyr: 9)
Dan sabda Rasulullah SAW:
لا يزال قوم يتأ خرون عن الصف الأول حتى يؤخرهم الله فى
النار (رواه ابوداود)
Senantiasa suatu kaum memperlambatkan dari saf awal, sehingga Allah mengakhirkan mereka, dimaukkan dalam neraka. (Rw. Abu Dawud)
Dari kedua nash tersebut dapat difahamkan bahwa mengutamakan dirinya sendiri. Tetapi mengutamakna dirinya sendiri dalam soal-soal ibadah dan taqarrub kepada Tuhan adalah lebih baik daripada mengutamakan kepada orang lain. Sebab beribadat itu adalah meuliakan tuhan. Jadi, sekiranya seseorang mengutamakan ibadat (mempersilahkan) kepada orang lain berarti ia mempersilahkan kepada orang lain untuk memuliakan tuhan, sedang dirinya sendiri melalaikan. Padahal tuhan telah mememrintahkan agar kita saling berlomba-lomba dalam menjalankan keabikan.
,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢ ( Ÿxsù ¨ûsðqä3s? z`ÏB tûïÎŽtIôJßJø9$# ÇÊÍÐÈ
Berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan (al-Baqarah:147)
contoh-contoh
  1. Waktu shalat telah tiba. Ada seorang yang mendapatkan hanya cukup untuk dirinya sendiri. Tetapi air itu diserahkan kepada orang lain agar dipergunakan wudhu, sehingg adirinya sendiri tidak melaksanakan shalat. Tindakan yang demikian itu adalah tindakan yang tidak dibenarkan dan tidak terpuji.
  2. Seorang makmum dalam sembahyang jamaah yang sudah di saf awal mundur untuk menyerahkan tempat tersebut kepada orang lain yang dipandang terhormat, maka tindakan semacam itu adalah makruh.
  3. Seorang memberikan makanan kepada fakir miskin, padahal ia sendri sangat membutuhkan makanan itu, maka ia mengutamakan orang lain dalam soal-soal keduniaan bukan dalam soal-soal ibadat.
  4. Seorang yang berhak menerima shadaqah tidak mau mengambilnya sendiri tetapi diserahkan kepada orang lain untuk mengambil dan memanfaatkannya.
  5. Seorang pedagang rela meningggalkan perdagangannya, agar pedagang yang tidak mendapatkan saingan dan karenanya dapat meperoleh keuntungan yang cukup, adalah tindakan yang terpuji.7
Sebagian ulama merinci penguamaan kepada orang lain dalam soal-soal ibadat itu kepada dua macam:
  1. Jika pengutamaan kepada orang lain itu membawa akibat dia sendiri harus meninggalkan kewajiban, mka hukumnya haram. Seperti memberikan air wudhu yang hanya cukup untuk diirnya sendiri kepada orang lain, sehingga ia sendiri tidak dapat shalat. Juga memberikan pakaian untuk menutup aurat kepad orang lain, padahal ia hanya mempunyai sepotong saja sehingga tidak dapat menjalankan shalat.
  2. jika pengutamaan kepad orang lain itu mebawa akibat akan meninggalkan perbuatan sunat atau akan menjalankan perbuatan yang makruh, maka yang demikian itu hukumnya makruh. Misalnya, mendahulukan orang lain membayar derma, daripada dirinya sendiri yang menyebarnya. Atau seorang hanya mempunyai makanan pas-pasan disedekahkan kepada si fakir, sehingga untuk keperluannya sendiri meminta kepada orang lain.

Kaidah Keempat
التا بع تابع
Pengikut (hukumnya) itu sebagai yang mengikuti (as-Suyuthi, TT: 81)
Yang dimaksud dengan qaidah ini ialah bahwa sesuatu yang sukar untuk dipisahkan dengan pokoknya. Yakni tidak perlu adanya ketentuan tersendiri. Kecuali kalau memang dikehendaki demikian. Misalnya menjual pekarangan, selama tidak ada perjanjian tersendiri, segala tumbuh-tumbuhan atau sesuatu yang berada diatas pekarangan tersebut ikut terjual, tidak usah mengadakan ikatan sendiri.
Termasuk dalam kategori kaidah dia atas adalah sebagai berikut:
1.
التابع لايفردبالحكم
Pengikut tidak diberi hukum tersendiri (as-Suyuthi, TT:81)
 Hal itu disebabkab karena ia sebagai pengikut, yang barang tentu harus mengikuti kepada yang diikutinya, Misalnya:
a)    Hewan yng dijual dalam keadaan bunting, maka anaknya yang berada di dalam perut sekaligus mengikuti induknya, tidak perlu diadakan perikatan jual beli baru, selagi tidak ada perjanjian.
b)    Seorang membuka tanah dari suatu pertanian dari suatu hutan, kemudian didapatinya sisa-sisa bangunan yang tidak ada pemiliknya, maka ia dapat memilikinya karena mengikuti pemilikan tanah yang dibukanya. 8

2.
التابع ساقط بسقوطالمتبوع
Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti (as-Suyuthi, TT: 81)
Misalnya tidak boleh mengawini saudara perempuan istri, namun jika istrinya telah dicerai maka perempuan tersebut boleh dikawininya. Demikian juga apabila batalnya jaminan keamanan pada suatu negara maka batal pula jaminan keamanaanterhadap anak dan istri mereka, karena anak dan istri sebagai pengikut saja.
Misalnya:
1)    Seorang yang gugur kewajiban menjalankan shalat wajibnya lantaran gangguan sakit ingatan, ia tidak disunnatkan menjalankan sunnat rwatibnya. Karena shalat fardhunya gugur, dengan sendirinya shalat sunnat yang mengikutinya gugur pula.
2)    Jika seseorang, karena suatu sebab, diperkenankan tidak mebasuh muka dalam menjalankan wudhu, gugur pula membasuh anggota-anggota yang berdekatan dengan muka, seperti ubun-ubun.
3)    Seorang yang terlambat dalam menjalankan iabadah haji, lalu bertahalul dengan thawaf, sa’I dan bercukur, maka tidak harus ia bertahalul dengan melempar dan menginap (mabit). Sebab yang terkahir ini adalah hal-hal yang mengikuti kepada wuquf. Padahal wuquf telah gugur, karenanya guur pula kewajiban melempar dan menginap.
3.
الفرع يسقط اذاسقط الاصل
Hukum cabang menjadi gugur manakala induknya gugur (as-Suyuthi, TT: 82)
Misalnya ayah tiri tidak wajib memberikan nafkah pada anak tirinya jika ibunya sudah ditalak, karena kewajiban memberi nafkah si ibu.
4.
التابع لايتقد م على المتبوع
Pengikut tidak boleh mendahului yang diikuti (as-Suyuthi, TT: 82)
Misalnya:
1.    Seorang makmum tidak boleh mendahului imam dalam takbiratul-ihram, mengucapkan salam dan perbuatan-perbuatan yang lain.
2.    Jika antara seorang makmum dengan iamam masih terdapat seorang makmum yang menjadi perantara untuk bersambungnya dengan imam, maka makmum (yang terakhir) tersebut tidak boleh mendahului takbiratul-ihramnya makmum yang menjadi perantara itu. Sebab ia harus mengikutinya.
3.    Bila seseorang menjual barang kepada orang lain dengan syarat terus digadaikan, tetapi waktu berakad ia mendahulukan kalimat gadai daripada menjual, maka tidak sah.
5.
يغتفرفى التوابع مالايغتفرفى غيرها
Yang pengikut dapat dimaafkan walaupun yang lain tidak (as-Suyuthi, TT: 83)
Kaidah itu berkaitan dengan kaidah berikut ini:
يغتفرفى الشيئ ضمنامالايغتفرفيه قصدا
Sesuatu yang dimaafkan karena keikut-ikutan, tidak dapat dimaafkan karena kesengajaan (as-Suyuthi, TT:83)
يغتفرفىالثوانى مالايغتفرفى الأوائل
Dapat dimaafkan bagi yang meniru tetapi tidak dapat dimaafkan bagi yang memulai 9as-Suyuthi, TT:83)
Misalnya halaman atau serabi masjid tidak dapat disebut sebagai masjid karena itu I’tikaf didalamnya tidak sah. Demikian juga seseorang yang sedang ihram tidak sah nikah namun kalau rujuk diperbolehkan (sah).

Kaidah kelima
ثصرف الامامعلى الرعية منوط بالمصلحة
Tindakan imam terdap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan (as-Suyuthi, TT: 83v)
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I bahwa kedudukan imam 9pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Kemudian setelah ditelusuri lebih jauh ternyata ungkapan itu berasal dari qoul Umar bin Khattab yang berbunyi “sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil daripadanya dan apabila ada sisa akan aku kembalikan dan ketika aku tidak membutuhkan niscaya aku menjauhinya.”
Kaidah diatas bertepatan dengan sabda Nabi SAW:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته (رواه الشيخن عن ابن عمر)
Masing-masing kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (H.R Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar)
Aplikasi kaidah diatas khusus dalam bidang pemerintahan yang menyangkut kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, karena itu, setiap tindakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia, baik menarik kebaikan maupun menolak kemadharatan. Jika tindakan kebaikan pemimpin ditafsirkan buruk oleh rakyatnya maka kondisi demikian itu diperlukanmemperbanyak musyawarah, karena bagaimanapun keadaannya pemerintah merupakan lridtalisasi dari kehendak rakyatnya.8
Kemashlahatan yang ditempuh pemimpin harus mempertimbangkan kemashlahatan yang lebih universal mencakup totalitas masyarakat, tidak mementingkan kemashlahatan golongan atau individu.


Kaidah keenam
الحدودتسقط بالشبهات
Hukuman had gugur bila masih meragukan syubhat(as-Suyuthi, TT:84)
Had adalah hukuman yang telah ditentukan bats kadarnya karena melanggar jarimah yang merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera atau rajam bagi penzina, dan sebaginya.
Contoh hukum yang masih syubhat adalah adaya hubungan seksual laki-laki terhadap wanita yang dikira istrinya, hubungan nikah mut’ah dimana sebagian ulama memperbolehkan sedang yang lain mengharamkan, nikah tanpa wali dimana sebagian ulama memperbolehkan sedang yang lain melarangnya, kesemuanya itu tidak dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.
Kaidah diatas bertepatan dengan sabda Nabi SAW:
ادرؤالحدوعنالمسلمين مااستطعتم فان وجدتم للمسلم مخرجافخلواسبيله  فان الإمام لأن يخطئ فى العفو خيرمن ان يخطئ فى العقوبة (رواه الترمذى والهاكم عن عائشة)
Hindarilah hukuman had bagi orang-orang muslim sedapat-dapatnya, apabila kamu memperoleh jalan keluar bagi orang muslim (untuk tidak diberi had) maka berikan jalannya, karena sesungguhnya imam yang salah dalam rangka memberi maaf itu lebih baik daripada salah dalam rangka memberi hukuman) (H.R Turmudzi dan hakim dari Aisyah)
Dari kaidah dan hadits diatas maka muncullah kaidah berikut ini:
الكفارةتسقط بالشبهات
Orang yang merdeka tidak masuk dalam belenggu kekuasaan (as-Suyuthi, TT: 85)
Misalnya seorang merdeka di penjara kareena melakukaj kesalahan, dan ketika dipenjara mati terkena reruntuhan, mkaa kematiannya tersebut tidak mewajibkan ganti rugi pihak keamanan, namun kalau yang mati tersebut seorang hamba maka pihak keamanan harus memberi ganti rugi pada tuannya karena budah meskipun manusia ia ibaratkan sebagai harta benda yang dapat mempergunakan kemampuan orang merdeka di penjara, sedang kalau budak diperblehkan .
Imam tajuddin as-Subky menolak kaidah diats, beliau menyatakan bahwa orang merdeka masuk dalam kekuasaan, alasn beliau menggunakan kaidahnya itu adlaah karena kaidah diats tidak didasarkan dalil satupun, baik dari nash maupun ijmak sahabat, padahal setiap kaidah fiqhiyah harus diasumsika dari dalil.



BAB III
KESIMPULAN

Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqiyah ini, setidaknya ada 5 kaidah asasiyah dan 40 kaidah pendukung, dalam pembahasan makalah saya ini saya membahas 6 kaidah yakni Ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihad Makna dari ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihat ialah  ijtihad yang telah di sepakati sebelumnya tidak dapat di ganggu gugat atas ijtihat yang baru. Karena kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, dan karenanya masing-masing ijtihad tidak ada yang istimewa. Dan masing-masing ijtihad tidak bisa saling membatalkan. “Ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihad  Makna dari ijtihad tidak dapat di batalkan dengan ijtihat ialah  ijtihad yang telah di sepakati sebelumnya tidak dapat di ganggu gugat atas ijtihat yang baru. Karena kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, dan karenanya masing-masing ijtihad tidak ada yang istimewa. Dan masing-masing ijtihad tidak bisa saling membatalkan. Mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi,
Pengikut (hukumnya) itu sebagai yang mengikuti Yang dimaksud dengan qaidah ini ialah bahwa sesuatu yang sukar untuk dipisahkan dengan pokoknya. Yakni tidak perlu adanya ketentuan tersendiri. Kecuali kalau memang dikehendaki demikian. Misalnya menjual pekarangan, selama tidak ada perjanjian tersendiri, segala tumbuh-tumbuhan atau sesuatu yang berada diatas pekarangan tersebut ikut terjual, tidak usah mengadakan ikatan sendiri. Tindakan imam terdap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I bahwa kedudukan imam 9pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap rakyatnya. Dan yang terakhir adalah Hukuman had gugur bila masih meragukan syubhat.
Demikian lah makalah ini saya perbuat segala kesalahan adalah milik saya, dan untuk itu saya mohon kritik saran dan masukan guna perbaikan makalah ini secara menyeluruh.









DAFTAR PUSTAKA


·         Abdullah Ali Husein, Al-Muqaranah Al-Tasyri’iyah. Dar al- salam, 1421 H/2001 M
·         Al-Aliyy, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Cv. Diponegoro, Bandung :  2000
·         H.A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kencana, Jakarta: 2006
·         Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam”( Alma’arif, Bandung: 1986
·         Mukhtar, Kaidah-kaidah Fiqiyah, (Almaarif, Bandung:1987


[3] Al-Aliyy, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Cv. Diponegoro, Bandung :  2000 h 164
4 Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam”( Alma’arif, Bandung: 1986) h 522
5 Mukhtar, Kaidah-kaidah Fiqiyah, (Almaarif, Bandung:1987) H 145-146
7 Mukhtaryahya, Ibid H 532
8 Ibid H 149
8 H.A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kencana, Jakarta: 2006 H  196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar