Senin, 04 Juli 2011

PRODUK JASA PERBANKKAN SYARI’AH “ FOREIGN EXCHANGE HALAL ATAU HARAM ????”


Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam semua aktivitas  manusia. Uang muncul karena sistem barter ternyata banyak menimbulkan kesukaran. Perbedaan sistem ekonomi yang berlaku akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai uang. Dalam sistem ekonomi Islam uang bukan modal, uang adalah sesuatu yang mengalir serta merupakan barang publik. Islam melarang menumpuk uang serta tidak menggunakannya untuk kegiatan ekonomi (produksi). Fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar dan pengukur nilai suatu barang maupun jasa. Uang dapat berupa logam maupun bukan logam tetapi harus berstandarkan pada logam mulia (emas) untuk menjaga kestabilan nilai uang. Guna mempermudah transaksi pembayaran internasional.
Seiring dengan perjalanannya kita mengenal adanya perdagangan uang atau VALAS, dan dalam perbankan  kita mengenal beberapa istlah mengenai perbankkan islam dan demikian pula jasa perbannkan islam, dalam perbannkan konvensional kita mengenal adanya bursa saham, Kurs, dan money of change. Dan biasanya dalam perdagangan uang sejenis ini sering sekali terjadi sepekulatif oleh para sepekulan, dalam perbankan islam di kenal adanya produk jasa berupa : Transfer, Kliring, Inkasso, safe Deposit Box, Jasa taksir dan penitipan, Payment Poin, FOREIGN EXCHANGE.
Saat ini yang sedang dalam perbincangan di kalangan ahli ekonomi islam adalah mengenai halal atau tidaknya foreign exchange. Hal ini di karenakan sulit sekali mengukur kadar uang yang di pertukarkan, dan Foreign Exchange merupakan perdagangan valuta asing yang melibatkan banyak orang dari seluruh penjuru Dunia. Dapat di pastikan sulit sekali memenuhi ketentuan dan syarat jual beli itu sendiri, di tambah lagi permasalahan dalam perdagangan foreign exchange , Forex merupakan perdagangan (jual-beli) yang menggunakan virtual money sedangkan dalam hukum jual beli diharuskan benda tersebut nyata secara fisik. Dari hal tersebut di atas maka sebahagian ahli berpendapat akan keharaman jenis perdagangan sejenis ini. Mereka berpegang pada hadist "Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu" sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.



Dalam perjalanan nya foreign Exchange di kenal dengan jasa layanan bank dalam tukar menukar mata uang, dan dalam hal ini di gunakan prinsif sharf, hal ini berdasarkan argument ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim dalam makalahnya (membumikan prinsif produk jasa perbannkan Islam).
Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Dan dapat dipastikan bahwa Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat.
Sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (Forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Mengenai  kasus ini (Forex), ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat.
Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Sehingga  penerapannya, secara khusus masalah Forex (PBK) ini dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, Forex termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka Forex (PBK) dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil. Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Penerapan prinsif Sharf ini sendiri harus memenuhi syarat dan unsur berikut ini : 
1. Pertukaran harus dilakukan antara mata uang yang berbeda, jika di lakukan dengan mata uang yang sama harus dalam niali yang sama juga.
2. Proses pertukaran harus di lakukan secara tunai bukan transaksi forward.
3. Nilai tukar/Kurs terdiri dari :
a. Kurs jual beli Bank TT , kurs ini di gunakan untuk uang giral
b. Kurs jual beli Bank Bank Notes, kurs ini digunakan untuk transaksi uang kartal.
c. Kurs tengah BI, kurs ini di gunakan untuk sistem pelaporan ke Bank Indonesia.
d. Kurs Pajak, Kurs ini digunakan untuk menghitung pajak impor.
4. Istilah jual dan beli pada tabel kurs bank harus di pahami dalam posisi bank, jadi istilah kurs jual berarti harga jual bank dan kurs beli berarti harga beli bank.
5. Perhatikan kepemilikan hard currencytersebut, jadi jika nasabah datang ingin menukar uang dolar miliknya menjadi rupiah. Maka di gunakan kurs beli bank, karena bank dalam posisi membeli USD.
6. Valuta yang di peruntukkan biasanya hard currency seperti, USD,GBR, JYP, dll. (Panduan praktis Transaksi Perbankan syaiah, h 137)
Sementara itu Dewan Syari'ah Nasional (DSN) pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002, memutuskan fatwa tentang jual beli mata uang (Al-Sharf).
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
  2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
  3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
  4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
Dari uraian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa produk jasa bank Islam berupa foreign exchange adalah halal dan di perbolehkan asalkan memenuhi unsur dan ketentuan tersebut di atas. Dan pada akhirnya penulis hanya mampu mengembalikannya pada kekuasaan Allah SWT dalam penentuan hukum halal atau haramnya sebuah pekerjaan, manusia hanya mampu berusaha dan menghindari unuk mendekati usaha yang haram. Wa’llah hu aklam Bissawam semoga bermanfaat.